‘Tuhan itu memang penyayang’
Sabtu, 3 april 2021 … Hujan turun masih dikatakan normal, walau disertai angin sepoi sepoi. Beberapa jam kemudian, hujan angin yang tak juga berhenti mengakibatkan beberapa ruas jalan di kota Kupang tergenang air. Banjir … Bisa dibilang begitu. Sungai meluap ke rumah rumah warga. Kepanikan terlihat di mana mana karna hujan angin tak mau berhenti. Memasuki hari Minggu 4 April 2021, di medsos ramai di isi dengan berita, hampir semua tempat di kota Kupang banjir. Bukan saja di Kota Kupang, berita dari belahan lain NTT’pun ikut diekspos. Flores, Sabu, Alor, TTS, dll, mengalami hal yang sama. Bahkan ada yang longsor sampai menelan korban jiwa
Pukul 18:25 Wita, saya melihat waktu di hape senter, hujan yang mengguyur disertai angin menambah kecepatannya. Seketika listrik padam. Gelap gulita menghantui kami keluarga kecil ini. Karena tidak ada persiapan apa apa, kami pasrah dalam pekatnya malam yang menjelang. Air hujan diterbangkan angin masuk melalui cela rumah dinding tempat kami bernaung. Sebagian barang kami basah kuyup. Kamar depan, tempat tidurnya sampai dipindahkan. Menjelang pukul 19:00 Wita, listrik kembali menyala. Kami mencoba tidur dan berharap tak akan terjadi apa apa.
Pukul 20:05 Wita, saya terbangun karena mendengar suara dentuman seperti petasan dari belakang rumah. Secepatnya saya bergegas membangunkan istri dan anak anak. Listrik kembali padam. Saya minta mereka berkumpul di ruangan tengah sambil duduk berdekatan. Di luar angin dan hujan semakin menggila. Dari balik jendela nako saya lihat pepohonan yang bergoyang ke sana kemari seperti orang sedang berjoget dangdut koplo. Tiba tiba terdengar suara dentuman seperti petasan lagi dari belakang rumah. Kali ini berulang beberapa kali. Apa yang terjadi? Tanya saya dalam hati. Lagi asik berpikir, saya dikejutkan dengan terlepasnya senk atap rumah bagian dapur kami. Anak istri saya juga sama. Malah kedua anak perempuan saya menangis. Saya menegur dan menyuruh mereka berdoa. Terdengar mereka bernyanyi ‘Yesus Allah Maha Kuasa’. Ini mereka lakukan hingga memasuki pukul 23:30 Wita.
Angin dan hujan semakin mengamuk. Air masuk dan menggenangi ruangan depan. Jendela kamar belakang terbuka sendiri. Kunciannya tak kuat menahan terjangan angin. Perasaan saya campur aduk. Saya pikir ini sudah kiamat. Dalam hati lagi, Tuhan biar saja saya yang mati, tapi tolong jangan anak anak dan istri saya. Mereka masih harus melanjutkan hidupnya. Saya berdoa begitu. Suara angin dan hujan semakin ribut. Wiiiuung … Wuusss … Wuusss! Ketakutan semakin merambat jiwa dan raga saya.
Saya harus mengambil keputusan saat itu. Dalam pikiran saya kalau kami harus segera meninggalkan rumah. Ini melintas berulang ulang. Tapi saya bingung kami harus ke mana? Dalam kebingungan, tiba tiba dari rumah di seberang jalan ada cahaya senter yang sengaja disorotkan ke arah pohon besar di depan lalu bergeser ke rumah kami. Saya katakan kepada istri dan anak anak, kita harus ke rumah tetangga yang menyalakan senter itu. Rumah mereka saya amati cukup aman buat berlindung. Saya bergegas membuka pintu depan. Angin yang marah mendorong pintu untuk terbuka lebar. Saya memengang erat. Kedua anak perempuan, saya minta keluar terlebih dulu. Saya katakan tidak usah lari, tapi jalannya harus cepat. Kemudian istri dan anak bungsu laki laki yang baru berusia 5 tahun. Dan disusul anak laki laki yang paling besar yang duduk di bangku SMP kelas 3. Terakhir tinggal saya yang bersusah payah menutup pintunya. Dicoba berulang ulang, pintu tak mau tertutup. Laluuu … Buummm! Suaranya keras sekali. Nyawa saya serasa terbang saat itu.
Dahan pohon di depan rumah patah dan jatuh menimpah senk tepat di atas kepala saya. Jantung saya berdetak cepat. Pintu yang biasanya gampang ditutup, jadi semakin sulit. Hampir saya tinggalkan saja terbuka. Saya ingat Tuhan. Dalam nama Yesus! Gumam saya. Pintu berhasil ditutup. Saya kalau dalam kesulitan, paling jago ingat Tuhan. Untung Tuhan masih sayang. Saya segera berlalu menyusul Istri dan anak anak. Sampai di rumah yang dituju, keluarga itu menyambut kami dengan hangat, sehangat tikar, pakaian ganti, selimut, dan teh panas sama kuenya. Setelah berbincang beberapa saat, kami kemudian istirahat. Angin dan hujan masih menggila.
Karena tidur dengan beban pikiran, saya tak dapat nyenyak. Apa lagi sampai mimpi ketemu bidadari. Mendekati pukul 05:00 Wita, hujan angin belum reda, hanya kecepatannya saja yang agak berkurang. Saya keluar untuk mengintip keadaan rumah kami. Maklum kami mengungsi tidak bawa apa apa. Hanya pakaian di badan. Takut kalau ada oknum yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Begitu dekat, saya terbelalak … Seperti tersengat listrik saya melihat pemandangan di depan. Dingin karna dibasahi hujan tak lagi saya rasakan. Seandainya kami tak beranjak dari rumah? Bisik hati saya. Kuasa Tuhan memang luar biasa. Cerita nyata ini tergambar pada foto foto yang saya sertakan. Dari tempat pengungsian … ‘Tuhan itu memang penyayang’. Selesai.
Ditulis oleh : Ale David Uktolseya
Komentar
Posting Komentar